bila ujung panahku tak tajam lagi
aku bukanlah arjuna pada padepokan durna
namun ingin membidik kejujuran seadanya
raga yang terkoyak disayat kemiskinan
mestinya kau yang menjahitnya dengan lembut jemarimu
kemudian kan kupinjam tongkat musa
tuk mengetuk sekat nurani
lalu kusingkap tirai kehidupan
sementara tempo di luar kamar memendam kembang
semboja luruh, namun aku tetap berharap
cairnya bingkai kaca di museumku yang berisi
sepenggal senyum gagap yang pernah kau lemparkan
dinding kamar makin menyempit dan hanya cukup
‘tuk pergumulan antara kau dan aku berebut sebuah mantra;
“realitas”
Jogja, 08-08